Jumat, 24 Januari 2014

Athirah (Novel Yang Terinspirasi Kisah Jusuf Kalla dan Ibunda) by Alberthiene Endah

"Kau tak akan pernah kehilangan ibumu. Energinya akan ada besertamu sepanjang hidup"


Di dunia ada satu kata jika diucapkan akan membuat senang, haru dan cinta. Ya, ibu. Sosok perempuan yang mulia. Buku ini bercerita tentang kisah Jusuf Kalla (seorang pengusaha dan mantan Wakil Presiden ) Indonesia tentang ibunya yang biasa di panggil Emma. 

Jusuf Kalla sebagai seorang anak sulung berbagi perasaan bagaimana menghadapi keadaan yang orang tuanya berpoligami. Ada perasaan sedih, kehilangan dan airmata tapi semua menjadi energi ketika orang yang mengalaminya sang Emma bisa bangkit dan menjadi energi bagi anak-anak, keluarga termasuk suaminya.

Biasanya saya membaca kisah poligami yang diceritakan oleh seorang istri. Saya cukup suprise seorang Jusuf Kalla mau berbagi cerita mengenai masa kecil dan keluarganya khususnya tentang perasaannya sebagai anak yang bapaknya menikah lagi. Tidak ada kata hujatan, benci dan marah dalam buku ini. Walaupun secara manusiawi tetap ada rasa kecewa dan sedih. Menerima, sabar dan ikhlas menjadi nafas dalam perjalanan panjang bagaimana mengelola perasaan dengan keadaan yang ada.

Sosok Emma membentuk kepribadian Jusuf Kalla dan adik-adiknya. Emma yang kuat, baik hati dan pemurah akhirnya menjadi dorongan positif untuk selalu berbuat baik dan menyenangkan hati sang ibu.Bisa dikatakan di balik kesuksesan seorang anak ada ibu yang hebat dan kuat di belakangnya. 

Buku ini membuat saya terharu, walaupun penulisnya mengemas dengan bentuk novel yang mungkin ada penambahan fiksi di dalamnya tapi tema kisah yang disampaikan benar-benar realita yang ada di masyarakat.

"Emma membentuk kami menjadi manusia utuh walau wajah hidup kami sempat tak utuh sebagai sebuah keluarga. Ia mengajarkan untuk selalu melihat kesempurnaan di tengah kondisi tak sempurna. Itulah keindahan ajaran Emma. Kondisi sulit tak perlu mengorbankan siapa pun, tidak perlu merusak segalanya" (halaman 368)

"Tiba-tiba aku ingin menangis. Satu pelajaran berharga mengalir lagi kepadaku. Yang paling perih dalam poligami adalah bila perasaan terdampingi terampas oleh orang lain. Kugenggam tangan Emma, lembut. Aku membuang muka ke sisi. Takut mataku basah. Dan, takut pula kudapati mata Emma basah. Kurasa kami sama-sama menangis di dalam hati" (halaman 215)

Disaat pemakaman Bapak, Jusuf Kalla sebagai seorang anak mengambil keputusan dengan hati yang lurus, saat dimana hendak disemayamkan Bapak karena satu sisi sebagai anak dari  istri pertama mereka berhak tetapi istri kedua Bapak juga meminta disemayamkan di rumahnya.

"Bapak menyusul Emma kurang dari seratus hari setelah napas terakhir Emma terembus. Kesedihan yang luar biasa telah memangkas semangat hidup Bapak. Habis sudah harapannya terhadap hidup. Tubuhnya lemah karena ia jarang menyentuh makanan. Sore menjelang magrib ia sedianya hendak ke Masjid Raya. Ia masuk ke kamar mandi, lalu tak keluar lagi. Bapak meninggal dalam kondisi tertelungkup di sana."
"Lantas dimana ia disemayamkan? adik-adikku berseru dengan keras. "Disini, Jusuf ! Di rumah kita. Ia ayah kita. Kitalah yang paling sah memiliki dia sebagai ayah. Kita anak-anak dari istri pertama. Kita sudah ditinggalkan Bapak begitu lama. Ketika wafat, Bapak harus berada di dekat kita."
"Aku mendengar jeritan adik-adikku. Bisa kupahami keinginan mereka. Tapi di rumah keluarga kedua bapak, juga kudapati perasaan yang sama. Belum pernah sebelumnya aku menginjak rumah bapak dan istri keduanya. Tak sekalipun. Tapi pada hari kematian Bapak, aku harus kesana. Dan kulihat mereka, istri kedua Bapak beserta anak-anak mereka meratap tak habis-habis. "Birkan ayahmu disemayamkan disini. Kami juga mencintainya..."Istri kedua Bapak menatapku dengan tangis berurai, Sebuah permohonan yang juga harus kuhormati."
"Aku terpekur. Berpikir keras, Sebuah problem yang sulit. Ya Allah, beri aku kekuatan untuk bisa bersikap dengan adil. Beri aku kemampuan untuk mengambil keputusan yang paling jernih dan mampu menciptakan perdamaian. Orangtuaku keduanya sudah wafat. Mohon beri kami kekuatan agar setelah ini hanya damai dan cinta kasih yang tersisa. Tak ada lagi jejak sejarah yang terluka."
"Baik, kataku."Bapak dimakamkan di rumah ini. Tapi ia akan di doakan di Masjid Raya, tempat ia mengerahkan segala cinta dan cita-citanya terhadap Islam.." Aku berkata-kata kepada istri kedua Bapak. Ia mengangguk tanpa sorot keberatan" (Halaman 380-381)



Rabu, 22 Januari 2014

Catatan Cinta Dari Mekkah by Awy Ameer Qolawun

"Di setiap kejadian pasti ada pelajaran"

Beruntunglah bagi orang-orang yang mau berpikir dan merenung dalam setiap kejadian yang dialaminya. Buku ini bercerita tentang kejadian sehari-hari yang pernah dialami penulis dan dimuat di note fb saat penulis berada di Mekkah. Karena di tulis di kota Mekkah yang penuh rindu dan cinta mungkin menjadi alasan judul buku ini hehe ini sih tebakan sok tau saya aja sih :)).

Dengan latar belakang keluarga santri, buku ini banyak bercerita bagaimana pendidikan dan kehidupan pesantren.  Buku yang terdiri dari 16 judul momen yang bercerita mengenai berbagai macam kisah yang dialami penulis,  ada tawa, sahdu, motivasi dan ilmu dalam setiap moment.

Ada satu kisah di buku ini yang lekat di ingatan saya dan membuat saya berurai air mata yaitu "Kang siang malam". Kisah seorang santri miskin (ayahanda penulis) yang sangking miskinnya pernah di panggil "pencuri" gara-gara tiap malam dia ke dapur mencari sisa sisa kerak nasi untuk dikumpulkan dan dimakan dan mengganjal perutnya yang sejak pagi tak diisi. Di balik kemiskinannya dia mempunyai ketabahan dan semangat mencari ilmu hingga takdir membawanya belajar sampai ke kota Mekkah dan kini menjadi ulama yang menebarkan ilmu kepada santri-santrinya. Cerita ini membuktikan orang yang sabar, baik dan lurus hatinya, Allah akan memberikan kemudahan dan hadiah yang terindah dalam kehidupannya.

Di buku ini saya juga banyak belajar agama karena penulis juga memberi ulasan bagaimana suatu kejadian yang di alaminya  di lihat dari kacamata agama. Dalam tulisan momen "Membenahi sholat kita" saya kembali diingatkan untuk memperbaiki sholat karena sering kali sholat yang dilaksanakan hanya menjadi momentum penguggur kewajiban, kadang suka lupa, ngelamun dan banyak lintasan pikiran yang bersliweran di saat sholat (pengakuan :( )

Pengalaman penulis dalam memulai dunia kepenulisan memberi motivasi bahwa sarana bukan segalanya, buku ini menjadi bukti, dengan menulis di Hp buku yang penuh hikmah ini berhasil di buat. Yang penting kemauan dan pembuktian.

Akhir kata buku ini  membuat saya bermuhasabah, banyak hal-hal yang harus saya perbaiki dalam kehidupan saya baik untuk agama maupun dunia. Semoga tidak hanya berhenti menjadi renungan tetapi juga bergerak ke perubahan. Yang pasti, sungguh berat pertanggung jawaban orang yang telah mengerti ilmu tetapi tidak melaksanakannya di bandingkan dengan orang yang tidak mengetahui.





Selasa, 31 Desember 2013

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck by Buya Hamka

"Di belakang kita berdiri satu tugu yang bernama nasib, disana telah tertulis rol yang akan kita jalani. Meskipun bagaimana kita mengelak dari ketentuan yang tersebut dalam nasib itu, tiadalah dapat, tetapi harus patuh kepada perintahNya"

"Cinta adalah iradat Tuhan, dikirimnya ke dunia supaya tumbuh. Kalau dia terletak diatas tanah yang lekang dan tandus, tumbuhnya akan menyiksa orang lain. Kalau dia datang kepada hati yang keruh dan pembaca budi yang rendah, dia akan membawa kerusakan. Tetapi jika dia hinggap kepada hati yang suci, dia akan mewariskan kemuliaan, keikhlasan dan taat kepada ilahi"

Setelah membaca novelnya sekian tahun yang lalu, tentu saya sangat ingin melihat bagaimana bahasa tulisan roman yang indah ini dibuat secara visual. Walaupun sebagai seorang pembaca saat kita membaca sebuah tulisan secara langsung pikiran kita seperti sebuah film yang sedang di putar membayangkan apa yang sedang kita baca. 

Film ini bercerita mengenai mengenai kisah kasih tak sampai. Zainudin seorang pemuda berdarah campuran Makasar dan Minang jatuh hati dengan Hayati kembang desa asli Batipuh. Sudah menjadi adat di Minang keputusan diambil oleh ninik mamak pemangku adat. Dengan alasan suku yang berbeda dan miskin akhirnya Hayati dinikahkan dengan Aziz yang lebih kaya secara harta tapi miskin secara kepribadiaan.

Singkat cerita Zainudin yang terusir dan terhina ini akhirnya bangkit menjadi seorang penulis yang terkenal dan takdir mempertemukan kembali dengan pasangan Aziz dan Hayati. Namun keadaan telah terbalik mereka yang kini memohon pertolongan dan dalam keadaan terhina. Aziz yang hobi berjudi dan main perempuan akhirnya tidak tahan dalam keadaan susah hingga bunuh diri, meninggalkan Hayati di rumah Zainudin, sebelumnya sempat mengirim surat kepada Zainudin untuk mengembalikan Hayati kepada orang yang di cintainya. Saat kesempatan sudah didepan mata Zainudin menolak kembali bersama Hayati mengingat kekecewaan yang telah diperbuat Hayati. Dengan hati yang sedih dan pilu Hayati pulang dengan kapal Van Der Wijck. Namun malang tak dapat di tolak kapal tersebut karam hingga Hayati berpulang pada saat Zainudin menyesal dengan keputusannya dan berharap mereka dapat hidup bersama.

Pesan yang ingin disampaikan dalam roman ini tentang adat dan takdir. Buya Hamka menggugat adat Minang dan mengajarkan tentang ketetapan takdir manusia :

"Tak usah engkau berbicara, rupanya engkau tidak mengerti kedudukan adat istiadat yang diperturun penaik sejak dari ninik yang berdua. Datuk Perpatih Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketemangungan yang dibubutkan layu, yang dikisarkan mati. Meskipun ayahnya orang Batiputih, ibunya bukan orang Minangkabau, mamaknya tidak tentu entah dimana, sukunya tidak ada. Tidak ada perpatihnya, tidak ada ketemanggungannya. Kalau dia kita terima menjadi suami anak kemenakan kita, ke mana kemenakan kita hendak menjelang iparnya, kemana cucu kita berbako, rumit sekali soal ini".

"Tak baik kita mencela orang lain, karena tiap-tiap negeri berdiri dengan adatnya, walaupun apa bangsanya dan di mana negrinya, " jawab yang muda itu.

"Itu betul, tetapi tidak ada yang melebihi Minangkabau. Tatkala masa dahulunya, sampai ke Aceh tiga segi, sampai Teratak Air Hitam, sampai ke Bugis Mengkasar, di bawah perintah Minangkabau semuanya. Membayar hak dacing pengeluaran, ubur-ubur gantung kemudi, ke dalam alam Minangkabau."

"Itu betul, tetapi tiap-tiap bangsa itu mengakui mereka pula yang lebih asal, yang lebih dahulu mencacak perumahan Pulau Perca ini."

"Datuk Garang yang kurang biasa disanggah oleh yang lebih muda telah agak meradang, terus berkata..."Wa'den labiah tahu dari kalian (Saya lebih tahu dari kamu semua).

"Hayati seorang gadis yang bercita-cita tinggi, tetapi jiwanya pun tak betah akan mengecewakan hati ninik mamaknya dan kaum kerabatnya. Dia hanya akan menerima apa tulisan takdir."

Adat yang tidak menjunjung keadilan bukanlah adat yang baik dan benar. Seharusnya setiap adat yang berlaku itu membawa kebaikan bagi masyarakatnya. Bagaimana dengan sikap Hayati, tidak seharusnya kah dia berjuang terhadap cita-citanya? Hayati ikhlas terhadap ketentuan yang berlaku walaupun harus berperang dengan hatinya.

Dua karya sastra Buya Hamka yang telah saya baca, Di Bawah Lindungan Ka'bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk penuh air mata sama-sama tentang kasih tak sampai. Dulu saya sempat bertanya-tanya kenapa seperti ini bukankah sebagai seorang ulama dan ahli agama bisa saja Buya membuat kisah tentang semangat dan motivasi.  Tetapi setelah membaca buku-buku agama Buya Hamka yang lain seperti Tasawuf Modern, Pandangan Hidup Seorang Muslim, mungkin ini berhubungan dengan ajaran Tasawuf yang didalami oleh Buya Hamka yang banyak mengajarkan tentang hati, ikhlas dan takdir.

Saya jadi teringat dengan pengarang yang terkenal saat ini Tere Liye, dalam beberapa bukunya juga bercerita mengenai kasih tak sampai dan cinta yang tak terkatakan. Ada beberapa buku yang membuat saya gemas yang berjudul "Daun Yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, Senja Bersama Rosie", saya membuat resensi di blog ini dan saya mengatakan, saya ga suka dengan tokohnya yang menyimpan perasaan bertahun tahun, saya inginnya cinta itu diusahakan dan dinyatakan. Tetapi perjalanan waktu dengan membaca tulisan-tulisan lain Tere Liye dan mengikuti note nya di FB akhirnya saya paham dan setuju, sikap tersebut dalam konteks perasaan saat belum menikah karena Tere Liye banyak menulis untuk anak-anak dan remaja dan saya lupa bahwa saya ini udah golongan emak-emak :)). Cinta sebelum saat yang halal lebih baik disimpan dan hanya di sampaikan kepada Allah. Selama proses menunggu pantaskan diri dan banyak berbuat yang bermanfaat dan kebaikan. Jikalau memang itu jodoh yang diberikan Allah kepada kita maka perasaan kita tetap terhormat dan kita bisa menjaga diri kita terhadap sesuatu yang dilarang Allah. Apalagi terhadap cinta kepada orang yang sudah berkeluarga lebih baik diabaikan saja.

Banyak manfaat dan hikmat dari buku ini. Dan bagi saya sendiri membaca buku demi buku bersama waktu juga mendewasakan diri saya dan memberi pemahaman yang lebih baik. Barakallah buat para penulis yang niatnya menulis untuk membawa manfaat dan kebaikan.