Sabtu, 13 April 2019

Narrative Writing Theraphy

Bismillahirrahmanirrahim...

Jangan takut dengan masalah
Masalah itu memperkaya rasa
Dan menulisnya seperti mengeja rasa

Jangan takut dengan rasa yang kita punya
Hati ini dalam genggaman pemilikNya
Dia yang berhak membolak balikan perasaan.
Banyak banyaklah berdoa agar hati ini teguh dalam keimanan

Istilah Narrative Writing Theraphy ini baru pertama kali saya dengar ketika membaca iklan pelatihan menulis di akun ig @adenit.

Setelah goggling dan baca penjelasannya saya merasa,  Masya Allah ternyata menulis bisa menjadi terapi mental.

Awalnya ragu mau ikut kelas ini , saya khan insya Allah ga ada depresi atau trauma, apa cocok ikut kelas ini karena terus terang saya tertarik dengan menulisnya aja. Akhirnya setelah mikir beberapa hari Allah takdirkan daftar juga beberapa jam sebelum pelatihan 😊.

Mba ade menjelaskan apa penting nya menulis karena menulis itu bukan semata mau jadi menulis tapi bisa menjadi cara untuk melepas pikiran pikiran yang menumpuk di kepala.

Kemudian ada sesi menghadirkan secara live mbak @louiandlove yang berada di norwey. Mbak ayu ini sedang menulis buku tentang bipolar yang di dampingi oleh mba ade sebagai mentor. Di sesi ini mata saya ikut berair ketika mba ayu menjelaskan penyakit bipolar yang telah menemaninya selama 10 tahun. Dia bercerita bagaimana ketika penyakit itu kambuh dan dia harus minum obat setiap hari seumur hidup. Selama menulis buku ini intensitas kambuh penyakitnya menjadi berkurang.

Saya suka menulis, selama ini tujuan saya menulis karena efek saya suka baca aja dan sebagai tempat untuk menyimpan kenangan. Ga pernah terpikirkan menulis bisa jadi sebuah terapi.

Disesi ke dua diisi oleh mbak Intan Savitri aka Izzatul Jannah. Saya langsung ingat bagaimana dulu zaman kuliah saya fans berat buku cerpen islami mbak intan ini, puluhan buku bo. Sekarang ketemu penulisnya langsung yang berprofesi sebagai dosen dan psikolog membuat pelatihan ini menjadi mantul.

Mbak intan menjelaskan teknik bagaimana cara menulis narasi sebagai terapi. Langkah awal, menulislah secara langsung spontan bebas tanpa mengedit segala emosi masa lalu hadirkan semua seolah olah kita sedang berada masa lalu tersebut.

Langkah kedua tulisan pertama itu kita tulis lagi tapi dengan kata ganti orang lain, beri tokoh nama orang lain dari cerita tersebut. Kemudian tulis hikmah dari kejadian tersebut.

Jika dari tulisan pertama kita sangat dekat dengan peristiwa tersebut pada tulisan ke dua kita sangat berjarak dengan peristiwa tersebut.

Dengan mengambil jarak dengan.peristiwa tersebut biasanya kita dapat melihat peristawa tersebut dengan lebih tenang dan jernih dan bisa mengambil hikmah dari peristiwa tersebut. Mengambil hikmah ini yang menjadi kuncinya. Pikiran dan perasaan menjadi lebih tenang.

Masya Allah seketika saya ingat kajian @drzaidulakbar yang mengatakan penyakit yang paling berat itu adalah pikiran berupa stress, marah, benci dll.

Seperti hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

        أَلآ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْصَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُكُلُّهُ، أَلآ وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sungguh di dalam tubuh itu ada segumpal daging. Jika daging tersebut baik, baiklah seluruh tubuh. Jika rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah kalbu (jantung).” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Kelas ini juga mengharu baru ketika peserta ada yang mengalami trauma masa kecil. Saya berharap dan berdoa para perempuan, ibuk-ibuk senantiasa bahagia karena ibu yang bahagia itu menjadikan keluarganya bahagia.

Ga ada salahnya dengan bercerita ketika kita mengalami beban masalah tentu saja setelah curhat dengan Allah dan perhatikan adab dalam bercerita, pastikan orang tersebut pantas sebagai tempat kita bercerita kalau bisa keluarga terdekat dan yang kedua jangan buka aib kecuali pada orang yang pantas misalkan konsultasi ke dokter atau psikolog.

Happy happy ya semua, jangan sampai ada sress diantara kita (nunjuk diri sendiri)

Lelah itu biasa yang penting lillah
Lelah itu hanya siklus, lewati saja

SemangkA, semangat karena Allah 😊

Rabu, 20 Maret 2019

#Dialog Hati (2)

Sesi curhat dialog hati dimulai😊

Bismillah...
Mau cerita pengalaman aja trus rasanya kok kepikiran, dari pada terpendam mending di tulis aja, yukk ahhh.

Ketika kita udah lama ga hadir dalam suatu group begitu hadir lagi rasanya ohhh kok gini ya

Saya udah lama skip dari group profesi, hampir bertahun tahun ga hadir, padahal sempat yang dulu sangat aktif.

Banyak alasan waktu itu untuk tidak aktif lagi, jarak yang sudah jauh, aktif di kajian hingga jadi suster nya mama.

Ada perasaan ga enak juga karena sering di tanyain kemana aja, padahal ga kemana mana 😀.

Perasaan yang berbeda ini bukan karena faktor orang lain tapi karena diri sendiri. Ada beberapa hal yang baru saya pelajari trus baru saya amalkan jadi bubar ketika bertemu banyak orang atau melihat orang lain melakukan sesuatu yang bagi saya hal itu tidak sepantasnya.

Dalam hati duhhh kok jadi gini yaa...
Hhmm iman saya khan belum kuat saya takuttt banget klo sesuatu yang saya coba jaga selama ini jadi luntur 😢

Seharusnya ini ga jadi masalah klo saya tetap kuat atas prinsip saya. Nahh ini yang jadi masalahnya, saya suka kebawa arus, belum setegar karang, bukanya ikut mewarnai eh yang ada malah terwarnai.

Mungkin yang harus saya kuatkan sekarang, bagaimana cara membantengi diri agar tidak ikut terpengaruh, klo ini udah khatam baru deh saya bisa leluasa kesana kemari. Hhhmmm jadi ada tambahan peer lagi nih.

So... Begitulah tulisan dialog hati kali ini, tanya sendiri dan jawab sendiri hehe.

Hanya mengingatkan saya pribadi, jangan takut jadi orang baik, jangan takut tegas terhadap prinsip kebenaran yang bersumber Alqur'an dan Sunah. Ga ada alasan hanya sekedar, ga enak sama teman, yang ada ga enak dan malu sama Allah.
Dihari akhir ga akan di tanya berapa teman yang kita punya yang ada hanya apakah kita sudah bermanfaat buat orang lain.

Salam istiqomah dear 😊

Rabu, 06 Maret 2019

Dialog Hati 😊

Saya sering punya perasaan di awal mau ngaji yaitu malas tapi sesudah ngaji hati senang dan lega, kenapa ya?

Senangnya karena dapat ilmu, hati lega, jadi ingat akhirat, tau apa yang harus di persiapkan di dunia ini.

Trus malasnya kenapa? Mager klo kata anak milenial sekarang males aja bawaanya, enakan leyeh leyeh di rumah atau pergi kemana.

Itu dia yang sering terjadi pada diri saya, walaupun udah berahun tahun ikut kajian. Tau ga tuh siapa yang perlu di curigai atas itu semua? Ya setanlah, setan itu emang udah kerjaan dia mengoda manusia agar tidak melakukan kebaikan soalnya klo manusia banyak yang baik ntar temannya di neraka bakal berkurang.

Nah tuh saya udah tau jawabannya, kenapa kadang masih kalah kuat dengan setan. Ya itu klo iman saya kuat saya akan pergi ke kajian, klo baterai saya lagi lemah, setan deh pemenangnya. Banyakan mana setan yang menang atau nurani? Alhamdulillah lebih sering nurani saya yang menang.

Klo boleh milih sih pengennya jangan ada setan diantara saya. Tapi khan ga bisa, karena Allah membolehkan setan untuk menguji kita biar Allah tau sejauh mana keimanan seorang hamba.

Jadi jadi apa maksudnya cerita ini, ya pengen aja memetakan masalah trus solusinya apa ?😀

Sebenarnya ada yang mau saya curhatin lagi. Gini..personel ngajinya buibu dulu khan ada sekitar 15, nah diantara perjalanan enam tahun ini anggota jadi 5. Sampai disini saya sedih tapi menganggap biasa karena hal ini sudah sering terjadi, begitu juga pas kejadian pengajian bapak bapak udah disiapkan segala sesuatu untuk banyak orang eh ternyata yang hadir cuman 4. Disini ilmu ikhlas harus maju, ingat tidak akan ada satu kebaikan pun yang akan sia sia, walaupun hanya sekecil zarah.

Trus masalahmya dimana? Disini
Di hati saya yang suka sedih 😊, kenapa orangnya sedikit? Apanya yang salah? Apanya yang kurang. Gitu we jadinya saya suka bertanya tanya. Trus saya.menghibur diri yang penting kualitas bukan kuantitas.

Sempat terpikir buibu banyak off karena hapalan ya? Tapi apa salah hafalan? Toh klo ga bisa ga apa-apa ga ada target dan hanya semampunya lagian wajar ngaji bertahun tahun pasti harus ada progress.

Jadi....kesimpulannya apa?
Ya sudahlah tetap semangat bikin kajian, jangan malas malas, niatnya mencari ridho Allah, tugas kita hanya mengajak dan menyampaikan, hasilnya serahkan pada Allah. Berbaik sangka yang ga bisa ikut karena ada uzur lain.

Eh wait sempat kepikiran apa bikin kajian dengan macam-macam fariasi biar menarik. Ahh ga ahh ntar malah jadi.polemik lagi kayak ustad  yang lagi hits itu. Udah ahh materi nya udah bagus yaitu tauhid dan tahsin, ga usah dimacam macamin lagi.

Yahh ini dia tulisan dialog hati dan pikiran, nanya sendiri jawab sendiri,😊

Biar semangat saya mau copas tulisan tentang dakwah :

Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan 
meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. 
Berjalan, duduk, dan tidurmu.

Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang 
umat yg kau cintai.

Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. 
Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yg menempel di 
tubuh rentamu. Tubuh yg luluh lantak diseret-seret. .. Tubuh yang 
hancur lebur dipaksa berlari.

Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang 
akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat 
yg diturunkan Allah.

Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya
sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi 
orang miskin yg bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. 
Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang 
segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah 
kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai 
jiwa yang tenang.

Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga 
terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa
pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik? Akhirnya
diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang 
sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, yang sedang
bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat.

Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah 
bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah 
bukannya sepi dari godaan kefuturan.

Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama 
mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan
segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”.

Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu 
menemani… justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana 
pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi. Kalau iman dan godaan 
rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus 
mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk 
mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada.

Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka. 
Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda 
dibandingkan jihad yang begitu cantik.

Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar 
wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar. 
Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi 
kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman..

Karena itu kamu tahu. Pejuang yg heboh ria memamer-mamerkan amalnya 
adalah anak kemarin sore. Yg takjub pada rasa sakit dan 
pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan 
Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya
besar. Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu 
mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru 
jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah, berilah 
dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang… “

Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya 
dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta… 
Mengajak kita untuk terus berlari…

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu. 
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

(alm. Ust Rahmat Abdullah)

Kalau iman dan syetan terus bertempur. Pada akhirnya salah satunya 
harus mengalah.

In memoriam Ust. Rahmat Abdullah