Senin, 15 Juni 2020

Yuk Kita Ngompos



Rumah saya sekitar 15 kilometer jaraknya dari tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang. Tapi rasanya seperti hanya selemparan batu karena bau khas dari tempat tersebut terasa dekat. 

Sepuluh tahun lalu saat baru pindah ke Bekasi dan pertama kali mencium bau khas tersebut saya sempat mencari dari mana asalnya kemudian saya periksa halaman depan apakah ada sampah yang menumpuk. Ternyata semuanya bersih kemudian saya bertanya kepada satpam komplek yang asli orang Bekasi dan dia menjawab dengan santai bau itu berasal dari TPA Bantar Gebang. Jawabannya bikin saya kaget karena sebelum beli rumah saya udah survei segala hal dan ternyata ada yang terlewat. Setelah itu saya browsing tentang TPA Bantar Gebang, hasilnya sungguh mengerikan dan membuat mual.

Dari sana saya kepikiran bagaimana caranya agar bisa berkontribusi untuk mengurangi sampah. Sungguh TPA Bantar Gebang itu sudah terlihat sebagai gunungan sampah raksasa. Awalnya karena masih minim info saya hanya memisahkan sampah basah dan kering di tong sampah Ternyata cara tersebut ga efektif karena sebelum diambil petugas sampah, pemulung lebih dulu mengacak dan membuka sampah plastik. Walaupun ga di acak pemulung, sampah ini begitu sampai TPA langsung dibuang apapun isinya apakah sisa makanan, sampah medis atau hal yang berbahaya sekalipun akan mejadi satu di TPA.

 Sekitar 4 tahun lalu saya membaca info tentang mengompos dan bulan lalu saya mengikuti kelas   mengompos itu mudah. Pengomposan menurut Wikipedia adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Sedangkan membuat kompos adalah suatu cara mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat.
Manfaat dari mengompos itu antara lain, mengurangi sampah ke TPA, menyuburkan tanah, mengurangi penggunaan pestisida dan bahan kimia yang berbahaya, mengurangi emisi gas metana ysng di hasilkan dari TPA.

Mengompos itu mudah karena tidak memerlukan banyak alat, yang penting syarat terjadinya proses pengomposan terpenuhi. Ada banyak metode dalam mengompos tapi secara umum terbagi dalam dua kelompok besar yaitu Aerob (melibatkan oksigen) dan Anaerob (tanpa melibatkan oksigen).
Pada umumnya ibu rumah tangga lebih memilih mengompos yang praktis, tidak bau, tidak menjijikkan dan sederhana. Maka pilihan yang tepat adalah metode Aerob (melibatkan oksigen)
Metode Aerobik hanya memerlukan wadah (pot/karung/ember,gerabah dll yang telah dilubangi di bawahnya) yang dijual siap pakai pun ada seperti bisa di cek di toko online, kresek/triplek untuk menutup wadah, tanah dan media tanam.

Cara membuatnya praktis, wadah yang disiapkan beri lubang di bawah dan samping kemudian taburkan tanah dan media tanam sebagai dasar setelah itu bisa langsung dimasukan sampah organik, setelah banyak lapisi lagi dengan tanah/daun kering/sekam, tutup dan dalam beberapa bulan bisa menghasilkan pupuk kompos yang bisa dipakai untuk penyubur tanaman.

Setelah mencoba mengompos 4 tahun terakhir proses yang awalnya saya pikir ribet itu akhirnya menyenangkan. Selain sampah terkelola dengan baik dan hasilnya bisa dipakai untuk pupuk bagi tanaman dan terbukti tanaman saya sekarang jauh lebih subur dari pada sebelumnya.
Untuk sampah anorganik sebisa mungkin kita cegah atau kurangi pemakaiannya atau bisa kita olah agar bisa di manfaatkan lagi. Dengan mengurangi sampah dan mengolah kembali sampah organik kita sudah bisa mengurangi volume sampah yang dibuang. Jika dikerjakan sendiri tentu efeknya tidak terasa tapi jika dikerjakan oleh setiap rumah pasti dampaknya akan terasa.

Saya beruntung diberi pengalaman hidup dengan bau sampah yang mampir kerumah dan pada akhirnya merubah pikiran serta gaya hidup saya. Bagaimana dengan sebagian orang yang tidak merasakan ini tentu mereka masih cuek saja membuang sampah dengan memasukan ke kresek diikat dan beres toh ga ada efek langsung yang mereka rasakan.

Saya berusaha mengajak teman serta tetangga di lingkungan terdekat untuk mengompos sampah. Kebanyakan mereka menolak dengan berbagai macam alasan seperti jijik, takut bau, takut belatung/cacing, ga sempat dsb. Saya akui emang awalnya susah untuk keluar dari zona nyaman karena kita dari awal harus mau usaha untuk memisahkan sampah yang bisa dikompos dengan yang tidak. Apabila cara yang digunakan sudah benar dan kompos diaduk secara rutin bau yang ditimbukan bukan bau busuk seperti bau busuk sampah tapi bau fermentasi seperti bau tape.  Sedang belatung (maghot) yang mucul malah bagus karena dia bertugas memakan sampah. Klo alasan ga sempat atau mager, jangan sampai alam rusak kita kena imbasnya dan disitu kita baru sadar.

Menurut info dari pengelola TPA Bantar Gebang (Sumber : detik.com) bahwa TPA Bantar Gebang akan penuh pada tahun 2022, jika dipaksakan tetap menampung sampah mungkin akan terjadi longsor dan berdampak buruk pada sekitar. Tekhnologi yang diharapkan dapat mengurai sampah dengan menjadikan gas metana sebagai daya listrik sampai saat ini masih menjadi pilot project. 
Daripada menunggu solusi yang ada lebih baik kita mulai dari sekarang dengan mengolah sampah kita sendiri dengan mengompos. Walaupun dengan cara yang sederhana tapi jika dilakukan setiap rumah tangga pasti hasilnya akan kelihatan dan sampah akan jauh berkurang.

Berharap banyak kesadaran individu yang timbul dalam mengelola sampah agar tercipta bumi yang sehat. Bumi adalah tempat tinggal kita bersama. Bumi tanpa manusia tidak apa-apa tapi manusia tanpa bumi,mau tinggal dimana?


Rabu, 10 Juni 2020

Tanam Sayur mu Sendiri From Garden To Table




Ketika membuka ig seseorang yang saya lupa namanya, saya membaca quote “sekarang yang hits bukan lagi berlomba lomba atas kemegahan fana, coba belajar temukan bahagia di dalam sederhana”.
Quote ini rasanya benar-benar mewakili hati yang sudah tiga bulan di rumah saja. Awalnya bingung mikirin gimana nanti eh akhirnya lama-lama kalem dan bisa menikmati.
Dua minggu pertama sempat sakit karena efek psikomatis, dari situ berusaha mengelola stress level dengan menyibukkan diri dan menjauhi membaca berita. Salah satu kegiatan yang saya coba adalah berkebun khususnya menanam sayuran. Kenapa sayuran bukan bunga? tanaman hias sudah saya lakukan dari dulu. Saya ga pernah menanam sayur karena saya pikir mengurusnya lebih ribet dan lagian sayur mudah di dapat di warung atau penjual keliling.
Pembatasan aktivitas karena pandemi membuat beberapa pasar dan warung dekat komplek rumah saya tutup. Berhubung konsumsi sayur saya lebih banyak dari pada lauk pauk membuat saya berpikir bagaimana caranya saya bisa dapat sayuran segar setiap hari. Ketika di berita banyak orang panik memborong makanan di supermarket saya pun berburu benih sayuran lewat belanja online.
Alhamdulillah di bulan ke 2 saat masih di rumah saja saya sudah bisa menikmati sayuran produksi sendiri dengan bahasa kerennya from garden to table. Suami saya sempat heran kok mau maunya saya setiap hari berpanas-panasan, main tanah dengan campuran media tanam yang disana ada kotoran hewan karena dia tau banget saya orangnya penjijik dan ogah kena kotor. Jangankan orang lain saya pun heran, tidak hanya kebiasaan saya tiap pagi yang berubah tapi juga bacaan dan tontonan saya juga berubah. Tampilan ig saya dari yang isinya fashion berubah menjadi para penggiat kebun, nonton yutub tentang pertanian sampai saya termehek mehek liat restoran bumi langit di Yogya dan ngedumel kemana aja saya selama ini sering bolak balik ke Yogya kok sampai ga tau ada tempat keren begitu.
Karena ingin nambah pengetahuan saya ikut kelas vegetable gardening, dan itu pesertanya buanyak dengan latar belakang profesi yang beragam, rata-rata alasan mereka pada ikut kelas karena pemula dan ingin cari kegiatan selama mendekam di rumah. Berkebun sendiri bisa meningkatkan imunitas karena ada kebahagiaan yang di timbulkan.
Ketika saya mencari ulasan tentang urban farming muncul istilah ketahanan pangan yang menyatakan bahwa “ Pandemi menyadarkan kita semua bahwa urban farming dan berkebun adalah keahlian bertahan hidup yang penting, terutama saat situasi berubah menjadi darurat (@millennialsfarmer) ”. Wahhh ternyata efeknya bisa sejauh itu padahal saya merasa ini hanya hobi iseng disaat tidak ada kerjaan dan efek pasar yang tutup.
Ternyata apa yang saya temui dilapangan satu minggu yang lalu cukup membuat wow, saat membeli media tanam di toko bunga langganan, toko tersebut berhasil menjual 700 karung media tanam hanya dalam waktu dua jam dan orang antri untuk membelinya dan biasanya media tanam sebanyak itu baru habis satu bulan. Tidak hanya itu saja segala macam pot dan poly bag yang biasanya memenuhi toko tersebut sampai penuh hanya menyisakan sedikit saja barang. Sempat saya tanyakan kepada pemilik toko kok bisa laris gini kata mereka selama libur banyak orang jenuh di rumah saja dan pelariannya dengan berkebun. Ya ampun ternyata saya banyak temannya hahahahaha.
Sekarang saya jadi bertanya sendiri, ketika new normal sudah di terapkan penuh dan aktifitas masyarakat kembali semula apakah kebiasaan ini akan tetap ada? Apakah ini menjadi bagian dari new normal atau seharusnya ini lah hidup yang normal sebenarnya?
Saya merasa inilah hidup normal yang sebenarnya. Selama ini kita terlalu cuek dengan alam dan dari mana makanan kita berasal karena semuanya di dapatkan dengan mudah. Dengan berkebun saya belajar banyak hal, bagaimana menjaga keseimbangan alam. Dengan menanam secara organik mau tidak mau belajar menyesuaikan dengan alam, apabila ada hama maka di obati bukan dengan obat kimia atau membiarkan dan mengalihkan hama tersebut ke tanaman lain. Selain menanam akhirnya saya juga memikirkan pengelolaan sampah. Sampah tidak asal di buang, sampah organic diolah lagi menjadi pupuk sedangkan yang an organik di kempulkan dan diolah lagi untuk hal yang lain.
Saya sebagai generasi 90 dari dulu tidak tertarik dengan yang namanya pertanian baik jadi pilihan kuliah ataupun profesi, yang saya tau jadi petani itu susah ga bisa kaya tapi yang terjadi sekarang orang semakin sadar dengan hidup sehat dan menjaga kesehatan. Sayuran organic dan semua makanan organic di buru para penganut makanan sehat dan untuk harga tentu saja lebih mahal mungkin juga ini efek dari banyaknya penyakit yang timbul yang kadang baru di ketahui namanya saat ini yang dulu tidak ada penyakit tersebut. Pengagas hidup sehat menyakini untuk memulai hidup sehat dimulai dari makanan dan isi piringmu.
Mungkin meng viralkan tagar ketahanan pangan dimulai dari rumah bisa dijadikan kampanye awal agar orang semakin aware untuk menanam apa yang di konsumsinya sedangkan bagaimana caranya info di internet sangat banyak dan soal keterbatasan lahan juga banyak solusinya.
Masa pandemi ini juga mengajarkan kita bahwa alam ga bisa dilawan karena alam akan tetap ada tanpa manusia sedangkan manusia tanpa alam tidakakan bisa. Mari kita berselaras dengan alam ketika kita sudah peduli dengan satu point saja maka kepedulian akan hal lain akan menular. Selama ini kita telah banyak di beri kekayaan oleh bumi, sudahkah kita merawatnya?


Selasa, 26 Mei 2020

repost tuisan Tere Liye


*Paham

Akhirnya saya paham.

Bukan penduduk kelas bawah yang terkena dampak serius pandemi ini. Bukan pula kelas menengah. Juga bukan kelas atas. Sepanjang mereka tidak melakukan hal ini: berhutang.

Sesusah apapun situasi, jika kalian tidak berhutang. Kalian minimal tidak pusing mikirin cicilan. Karena sungguh rumit, walaupun kalian kaya raya, tapi hutang menggunung. Wah, itu susah Bro. Karena akan ada yg nagih, jadi pikiran, stress, susah tidur, susah makan. Tambah susah semuanya. Penjualan seret, bisnis mampet, tapi cicilan tetap harus dibayar. Nah, kelompok inilah yang terkena dampak seriusnya. Kelompok rentan, rapuh, dan menjerit.

Nah, inilah juga yang terjadi hari-hari belakangan ini. Tiga bulan bisnis tidak jalan, mungkin masih kuat. Tapi enam bulan tidak jalan? Wah, mulai sadis dampaknya. Karena hutang harus dibayar. Sekali hutang tersendat, dampaknya lari ke bank. Bank2 mulai kesulitan likuiditas. Efeknya beruntun kemana2. Sekali bank jebol, kacau balau dunia persilatan.

Maka, apapun yang terjadi, bisnis harus dimulai Juni nanti. Sebelum semua yang berhutang semaput. Bukan rakyat kecil yg dikhawatirkan. Kalian kredit panci, lemari, gorden, itu sih tidak serius. Atau kredit motor, rumah, mobil, mungkin itu serius, tapi ssst, masih ada yang lebih serius.

Apa itu? Perusahaan2 yang berhutang. Orang2 itu yang berhutang. Jangan keliru, pejabat2 ini ada punya bisnis, dan bisnisnya juga terbiasa dengan hutang. Belum lagi pengusaha di sekeliling kekuasaan, juga terbiasa dengan hutang. Dengan bisnis mampet, penjualan turun, wow, itu ngeri. Cicilan mau dibayar pakai apa? Daun? Tidak bisa.

Maka bisnis harus jalan. 

Apalagi JIKA negara itu juga berhutang gila2an, ribuan trilyun. Wah, sekali ekonomi terjun bebas, maka pajak akan berkurang drastis, cukai, penghasilan lain, terjun bebas. Tambah kacau balau. Penerimaan mampet. Kurs menggila. Itulah kenapa BBM tidak turun di negara ini, karena konsumsi BBM turun. Makanya harga BBM tetap selangit, itu penting agar tidak tekor. Buat nalangin turunnya konsumsi.

Maka bisnis harus jalan segera. Apapun resikonya. Mari dibungkus dengan "new normal", "sepanjang protokol kesehatan" dilaksanakan. Pokoknya dibungkus apapun, bisnis harus jalan. Mall2 harus buka, karyawan harus masuk, pabrik beroperasi lagi. Itulah yang terjadi, sesederhana itu.

Gara-gara hutang.

Maka, bersyukurlah jika kalian hari ini tdk punya cicilan. Tidak pusing, toh? Meski susah mikir besok harus makan apa, minimal tdk perlu mikirin besok nyicilnya bagaimana. Pun yang terlanjur dan terpaksa berhutang, semoga segera bisa dilunasi. Agar beban itu tidak mengikat kita. Sungguh2 berdoa, semoga rezeki datang, hutang lunas.

Karena yang repot adalah: yang hobi berhutang.

Wah, ini repoooot, Rek. Kemampuan kurang, tenaga lemah, eh nafsu hutang tinggi. Numpuk hutangnya. Tapi dia tetap bangga. Selalu punya alasan dan puja-puji logika. Seolah berhutang itu prestasi, kan hancur logika. Nah, yg ini jelas susah. Karena benarlah kata orang tua dulu: tabiat berhutang itu berbahaya. Sekali seseorang suka berhutang, maka dia akan lagi, lagi, dan lagi berhutang. Dia bisa membuat susah keluarganya, semua jadi kena.

Sungguh, hutang tinggi itu bukan prestasi. Karena kalau itu prestasi, waduh, hahaha, lucu sekali, banyak-banyakan hutang prestasi? Oooh, kulit kerang ajaib, entah itu nasihat dari mana. "Nak, berhutanglah banyak2, semakin banyak hutangmu, semakin berprestasi kamu."

*Tere Liye