Selasa, 21 Juli 2020

Bertani, Berdaya dan Sejahtera di Desa Sendiri (Gesang Di Lahan Gersang)


Resensi

Judul Buku       :  Gesang Di lahan Gersang
Penulis              : Diah Widuretno
Penerbit            : Sekolah Pagesangan
Tebal                  : 402 Halaman

 Bertani,  Berdaya dan Sejahtera Di Desa Sendiri

Buku ini bercerita mengenai pengalaman Diah Widuretno sebagai relawan dalam mendampingi anak-anak di dusun Wintaos, desa Girimulya, Panggang, Gunung Kidul.
Gunung Kidul sendiri terkenal sebagai daerah yang tandus dan kering. Sehingga bertani tidak bisa dilakukan sepanjang waktu. Walaupun mata pencarian penduduk disana kebanyakan bertani tetapi menjadi petani bukan suatu cita-cita atau tujuan bekerja bagi generasi mudanya. Bertani hanya dilakukan orang para orang tua saja.
Awalnya mbak Diah (panggilan akrabnya) mendampingi anak-anak di dusun Wintaos untuk belajar non formal. Pada umumnya anak-anak disana sekolah hanya sampai SD, sedikit yang melanjutkan sekolah biasanya tamat dari SD mereka keluar dari desa untuk mencari kerja.
Pertama kali didirikan sekolah ini bernama Sekolah Sumbu Panguripan (SSP) dengan beberapa relawan yang kemudian dalam perjalananya mengalami konflik internal akhirnya bubar dan kemudian menjadi Sekolah Pagesangan (SP) dengan mbak Diah sebagai pendiri dan satu-satunya relawan..
Sekolah ini berusaha merubah pikiran masyarakat bahwa untuk mengatasi kemiskinan itu tidak hanya dengan mencari kerja ke kota tapi bisa dengan berwirausaha dan tetap berada di desa. Tentu ini tidak mudah apalagi usaha yang di usulkan berhubungan dengan pertanian.
 Masyarakat sendiri sudah beranggapan apa yang bisa diharapkan dengan pertanian dengan kondisi alam yang seperti ini. Tetapi dengan tetap membiarkan masyarakat mempunyai pola pikir harus ke kota, efek negatif yang timbul juga banyak. Orang-orang tua disana selain bertani juga mengasuh cucu yang di tinggal karena bapak ibunya bekerja di kota. Apalagi perceraian dan pergaulan remaja yang berisiko menjadi persoalan di masyarakat.
Ketangguhan mbak Diah ini bagi saya sangat luar biasa dengan mengajak anak-anak kecil mulai dari tingkat SD untuk saling terbuka dan diskusi mengenai apa yang menjadi cita-cita mereka dan apa yang bisa dilakukan untuk mewujudkannya. Walaupun pada akhirnya proses belajar ini melibatkan kelompok bapak-bapak dan ibu-ibu.
Pendidikan kita saat ini diajarkan untuk mencari kerja bukan membuka lapangan pekerjaan. Apalagi tema belajar yang seragam tanpa melihat potensi apa yang ada di daerah mereka. Akhirnya siswa banyak mendapat teori tapi minim ketrampilan dalam mengelola kehidupan. Padahal dengan menemukan potensi desa yang kemudian dijadikan usaha dan dikembangkan dengan baik, bisa mensejaterahkan induvidu dan kelompok setempat.
“ Sekolah Pagesangan berusaha mengajak anak-anak berfikir ulang dan menyadari bahwa budaya bertani adalah modal dasar yang sesungguhnya sudah dimiliki, Belajar Bertani adalah belajar tentang keberdayaan dan kedaulatan ditanah sendiri. Tanah yang sekarat akibat telah lama terpapar pupuk kimia dan pestisida, coba disehatkan kembali dengan bantuan mikroorganisme. Proses kembali menghidupkan tanah adalah inti Sekolah pagesangan”
Cara mbak Diah membangun sekolah ini dengan tidak mau menjadikannya sebagai Lembaga, Yayasan atau apapun namanya hingga tercatat legal agar bisa mendapatkan dana bantuan bagi saya ini termasuk langka karena biasanya orang berusaha mencari dana dari luar dan memformalkan institusinya.
Dalam kegiatan sehari-hari untuk melaksanakan programnya mbak Diah butuh dana yang tidak sedikit tapi ia tidak mau meminta sumbangan atau menulis proposal. Ia lebih memilih cara yang lebih terhormat dan mendidik mereka semua bagaimana cara mendapatkan dana tersebut. Akhirnya timbul ide menjual baju bekas dan berjualan donat dan kue-kue yang lain yang semuanya dilakukan bersama-sama.
Buku ini bagus sebagai refleksi untuk melihat kembali pendidikan semacam apa yang kita butuhkan. Untuk daerah tertentu yang rata-rata masyarakat nya sekolah hanya sampai tingkat dasar selain membaca dan berhitung lebih baik banyak diberikan ketrampilan dalam bertahan hidup.
Kita bisa melihat kenyataanya hari ini ketika orang banyak yang di PHK di kota mereka memilih pulang kampung dengan alasan di kampung masih bisa makan. Bagaimana kalau di kampung sawah dan ladang mereka sudah mereka biarkan atau jual,mau makan apa? Padahal kampung akan selalu menjadi tujuan pulang bagi orang yang tinggal di luar tanah kelahirannya.
Saat ini Sekolah Pagesangan sudah bisa dianggap sukses dan mempunyai nama sebagai penghasil makanan di kalangan penggiat makanan sehat. Dengan menjual online produk mereka pun sudah sampai kemana-mana. Akhirnya terbukti siapa bilang dengan tetap tinggal di desa kita tidak bisa berdaya dan Sejahtera?


Senin, 15 Juni 2020

Yuk Kita Ngompos



Rumah saya sekitar 15 kilometer jaraknya dari tempat pembuangan akhir (TPA) Bantar Gebang. Tapi rasanya seperti hanya selemparan batu karena bau khas dari tempat tersebut terasa dekat. 

Sepuluh tahun lalu saat baru pindah ke Bekasi dan pertama kali mencium bau khas tersebut saya sempat mencari dari mana asalnya kemudian saya periksa halaman depan apakah ada sampah yang menumpuk. Ternyata semuanya bersih kemudian saya bertanya kepada satpam komplek yang asli orang Bekasi dan dia menjawab dengan santai bau itu berasal dari TPA Bantar Gebang. Jawabannya bikin saya kaget karena sebelum beli rumah saya udah survei segala hal dan ternyata ada yang terlewat. Setelah itu saya browsing tentang TPA Bantar Gebang, hasilnya sungguh mengerikan dan membuat mual.

Dari sana saya kepikiran bagaimana caranya agar bisa berkontribusi untuk mengurangi sampah. Sungguh TPA Bantar Gebang itu sudah terlihat sebagai gunungan sampah raksasa. Awalnya karena masih minim info saya hanya memisahkan sampah basah dan kering di tong sampah Ternyata cara tersebut ga efektif karena sebelum diambil petugas sampah, pemulung lebih dulu mengacak dan membuka sampah plastik. Walaupun ga di acak pemulung, sampah ini begitu sampai TPA langsung dibuang apapun isinya apakah sisa makanan, sampah medis atau hal yang berbahaya sekalipun akan mejadi satu di TPA.

 Sekitar 4 tahun lalu saya membaca info tentang mengompos dan bulan lalu saya mengikuti kelas   mengompos itu mudah. Pengomposan menurut Wikipedia adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Sedangkan membuat kompos adalah suatu cara mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat.
Manfaat dari mengompos itu antara lain, mengurangi sampah ke TPA, menyuburkan tanah, mengurangi penggunaan pestisida dan bahan kimia yang berbahaya, mengurangi emisi gas metana ysng di hasilkan dari TPA.

Mengompos itu mudah karena tidak memerlukan banyak alat, yang penting syarat terjadinya proses pengomposan terpenuhi. Ada banyak metode dalam mengompos tapi secara umum terbagi dalam dua kelompok besar yaitu Aerob (melibatkan oksigen) dan Anaerob (tanpa melibatkan oksigen).
Pada umumnya ibu rumah tangga lebih memilih mengompos yang praktis, tidak bau, tidak menjijikkan dan sederhana. Maka pilihan yang tepat adalah metode Aerob (melibatkan oksigen)
Metode Aerobik hanya memerlukan wadah (pot/karung/ember,gerabah dll yang telah dilubangi di bawahnya) yang dijual siap pakai pun ada seperti bisa di cek di toko online, kresek/triplek untuk menutup wadah, tanah dan media tanam.

Cara membuatnya praktis, wadah yang disiapkan beri lubang di bawah dan samping kemudian taburkan tanah dan media tanam sebagai dasar setelah itu bisa langsung dimasukan sampah organik, setelah banyak lapisi lagi dengan tanah/daun kering/sekam, tutup dan dalam beberapa bulan bisa menghasilkan pupuk kompos yang bisa dipakai untuk penyubur tanaman.

Setelah mencoba mengompos 4 tahun terakhir proses yang awalnya saya pikir ribet itu akhirnya menyenangkan. Selain sampah terkelola dengan baik dan hasilnya bisa dipakai untuk pupuk bagi tanaman dan terbukti tanaman saya sekarang jauh lebih subur dari pada sebelumnya.
Untuk sampah anorganik sebisa mungkin kita cegah atau kurangi pemakaiannya atau bisa kita olah agar bisa di manfaatkan lagi. Dengan mengurangi sampah dan mengolah kembali sampah organik kita sudah bisa mengurangi volume sampah yang dibuang. Jika dikerjakan sendiri tentu efeknya tidak terasa tapi jika dikerjakan oleh setiap rumah pasti dampaknya akan terasa.

Saya beruntung diberi pengalaman hidup dengan bau sampah yang mampir kerumah dan pada akhirnya merubah pikiran serta gaya hidup saya. Bagaimana dengan sebagian orang yang tidak merasakan ini tentu mereka masih cuek saja membuang sampah dengan memasukan ke kresek diikat dan beres toh ga ada efek langsung yang mereka rasakan.

Saya berusaha mengajak teman serta tetangga di lingkungan terdekat untuk mengompos sampah. Kebanyakan mereka menolak dengan berbagai macam alasan seperti jijik, takut bau, takut belatung/cacing, ga sempat dsb. Saya akui emang awalnya susah untuk keluar dari zona nyaman karena kita dari awal harus mau usaha untuk memisahkan sampah yang bisa dikompos dengan yang tidak. Apabila cara yang digunakan sudah benar dan kompos diaduk secara rutin bau yang ditimbukan bukan bau busuk seperti bau busuk sampah tapi bau fermentasi seperti bau tape.  Sedang belatung (maghot) yang mucul malah bagus karena dia bertugas memakan sampah. Klo alasan ga sempat atau mager, jangan sampai alam rusak kita kena imbasnya dan disitu kita baru sadar.

Menurut info dari pengelola TPA Bantar Gebang (Sumber : detik.com) bahwa TPA Bantar Gebang akan penuh pada tahun 2022, jika dipaksakan tetap menampung sampah mungkin akan terjadi longsor dan berdampak buruk pada sekitar. Tekhnologi yang diharapkan dapat mengurai sampah dengan menjadikan gas metana sebagai daya listrik sampai saat ini masih menjadi pilot project. 
Daripada menunggu solusi yang ada lebih baik kita mulai dari sekarang dengan mengolah sampah kita sendiri dengan mengompos. Walaupun dengan cara yang sederhana tapi jika dilakukan setiap rumah tangga pasti hasilnya akan kelihatan dan sampah akan jauh berkurang.

Berharap banyak kesadaran individu yang timbul dalam mengelola sampah agar tercipta bumi yang sehat. Bumi adalah tempat tinggal kita bersama. Bumi tanpa manusia tidak apa-apa tapi manusia tanpa bumi,mau tinggal dimana?


Rabu, 10 Juni 2020

Tanam Sayur mu Sendiri From Garden To Table




Ketika membuka ig seseorang yang saya lupa namanya, saya membaca quote “sekarang yang hits bukan lagi berlomba lomba atas kemegahan fana, coba belajar temukan bahagia di dalam sederhana”.
Quote ini rasanya benar-benar mewakili hati yang sudah tiga bulan di rumah saja. Awalnya bingung mikirin gimana nanti eh akhirnya lama-lama kalem dan bisa menikmati.
Dua minggu pertama sempat sakit karena efek psikomatis, dari situ berusaha mengelola stress level dengan menyibukkan diri dan menjauhi membaca berita. Salah satu kegiatan yang saya coba adalah berkebun khususnya menanam sayuran. Kenapa sayuran bukan bunga? tanaman hias sudah saya lakukan dari dulu. Saya ga pernah menanam sayur karena saya pikir mengurusnya lebih ribet dan lagian sayur mudah di dapat di warung atau penjual keliling.
Pembatasan aktivitas karena pandemi membuat beberapa pasar dan warung dekat komplek rumah saya tutup. Berhubung konsumsi sayur saya lebih banyak dari pada lauk pauk membuat saya berpikir bagaimana caranya saya bisa dapat sayuran segar setiap hari. Ketika di berita banyak orang panik memborong makanan di supermarket saya pun berburu benih sayuran lewat belanja online.
Alhamdulillah di bulan ke 2 saat masih di rumah saja saya sudah bisa menikmati sayuran produksi sendiri dengan bahasa kerennya from garden to table. Suami saya sempat heran kok mau maunya saya setiap hari berpanas-panasan, main tanah dengan campuran media tanam yang disana ada kotoran hewan karena dia tau banget saya orangnya penjijik dan ogah kena kotor. Jangankan orang lain saya pun heran, tidak hanya kebiasaan saya tiap pagi yang berubah tapi juga bacaan dan tontonan saya juga berubah. Tampilan ig saya dari yang isinya fashion berubah menjadi para penggiat kebun, nonton yutub tentang pertanian sampai saya termehek mehek liat restoran bumi langit di Yogya dan ngedumel kemana aja saya selama ini sering bolak balik ke Yogya kok sampai ga tau ada tempat keren begitu.
Karena ingin nambah pengetahuan saya ikut kelas vegetable gardening, dan itu pesertanya buanyak dengan latar belakang profesi yang beragam, rata-rata alasan mereka pada ikut kelas karena pemula dan ingin cari kegiatan selama mendekam di rumah. Berkebun sendiri bisa meningkatkan imunitas karena ada kebahagiaan yang di timbulkan.
Ketika saya mencari ulasan tentang urban farming muncul istilah ketahanan pangan yang menyatakan bahwa “ Pandemi menyadarkan kita semua bahwa urban farming dan berkebun adalah keahlian bertahan hidup yang penting, terutama saat situasi berubah menjadi darurat (@millennialsfarmer) ”. Wahhh ternyata efeknya bisa sejauh itu padahal saya merasa ini hanya hobi iseng disaat tidak ada kerjaan dan efek pasar yang tutup.
Ternyata apa yang saya temui dilapangan satu minggu yang lalu cukup membuat wow, saat membeli media tanam di toko bunga langganan, toko tersebut berhasil menjual 700 karung media tanam hanya dalam waktu dua jam dan orang antri untuk membelinya dan biasanya media tanam sebanyak itu baru habis satu bulan. Tidak hanya itu saja segala macam pot dan poly bag yang biasanya memenuhi toko tersebut sampai penuh hanya menyisakan sedikit saja barang. Sempat saya tanyakan kepada pemilik toko kok bisa laris gini kata mereka selama libur banyak orang jenuh di rumah saja dan pelariannya dengan berkebun. Ya ampun ternyata saya banyak temannya hahahahaha.
Sekarang saya jadi bertanya sendiri, ketika new normal sudah di terapkan penuh dan aktifitas masyarakat kembali semula apakah kebiasaan ini akan tetap ada? Apakah ini menjadi bagian dari new normal atau seharusnya ini lah hidup yang normal sebenarnya?
Saya merasa inilah hidup normal yang sebenarnya. Selama ini kita terlalu cuek dengan alam dan dari mana makanan kita berasal karena semuanya di dapatkan dengan mudah. Dengan berkebun saya belajar banyak hal, bagaimana menjaga keseimbangan alam. Dengan menanam secara organik mau tidak mau belajar menyesuaikan dengan alam, apabila ada hama maka di obati bukan dengan obat kimia atau membiarkan dan mengalihkan hama tersebut ke tanaman lain. Selain menanam akhirnya saya juga memikirkan pengelolaan sampah. Sampah tidak asal di buang, sampah organic diolah lagi menjadi pupuk sedangkan yang an organik di kempulkan dan diolah lagi untuk hal yang lain.
Saya sebagai generasi 90 dari dulu tidak tertarik dengan yang namanya pertanian baik jadi pilihan kuliah ataupun profesi, yang saya tau jadi petani itu susah ga bisa kaya tapi yang terjadi sekarang orang semakin sadar dengan hidup sehat dan menjaga kesehatan. Sayuran organic dan semua makanan organic di buru para penganut makanan sehat dan untuk harga tentu saja lebih mahal mungkin juga ini efek dari banyaknya penyakit yang timbul yang kadang baru di ketahui namanya saat ini yang dulu tidak ada penyakit tersebut. Pengagas hidup sehat menyakini untuk memulai hidup sehat dimulai dari makanan dan isi piringmu.
Mungkin meng viralkan tagar ketahanan pangan dimulai dari rumah bisa dijadikan kampanye awal agar orang semakin aware untuk menanam apa yang di konsumsinya sedangkan bagaimana caranya info di internet sangat banyak dan soal keterbatasan lahan juga banyak solusinya.
Masa pandemi ini juga mengajarkan kita bahwa alam ga bisa dilawan karena alam akan tetap ada tanpa manusia sedangkan manusia tanpa alam tidakakan bisa. Mari kita berselaras dengan alam ketika kita sudah peduli dengan satu point saja maka kepedulian akan hal lain akan menular. Selama ini kita telah banyak di beri kekayaan oleh bumi, sudahkah kita merawatnya?