Sabtu, 30 Juni 2012

Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah


Judul Buku      : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis             : Tere Liye
Penerbit           : Gramedia

"Untuk orang-orang seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras, dan sederhana, maka definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan" 
“ Pekerjaan apapun itu mulia asal dikerjakan dengan tulus”
           
Kebaikan akan berbalas dengan kebaikan, sampai kapanpun itu tidak akan salah, walaupun awalnya kebencian dan kesedihan yang kita rasakan.
"Umurku dua belas, duduk di lorong rumah sakit sendirian, menangis terisak. Di ruangan berjarak sepuluh meter dariku, Bapak menunaikan kebaikan terakhir. Aku selalu tahu sebagaimana seluruh penduduk tepian Kapuas tahu bapak adalah orang baik yang pernah kukenal. Aku tidak tahu apakah ubur-ubur yang membuatnya meninggal atau pisau bedah dokter. Dia boleh jadi masih bisa siuman, diselamatkan, bukan? Mukzizat bisa datang kapan saja, bukan? Umurku dua belas, aku tidak pernah tahu jawabannya" (halaman 16)
Jika kita jatuh cinta kepada orang yang keluarganya pernah membuat kepedihan dalam hidup kita, apakah yang harus kita lakukan? Berhenti mencintainya, membencinya atau tetap mencintainya?.
Novel ini bercerita bagaimana Borno jatuh cinta kepada Mei yang juga menyukainya tetapi Mei dibayangi masa lalu, ibunya yang sakit keras setelah kejadian mengoperasi bapak Borno yang mendonorkan jantungnya dan ternyata secara medis masih bisa diselamatkan, demi kebanggaan dan prestasi akademik ibunya Mei mengenyampingkan itu semua. Akibatnya setelah kejadian tersebut perasaan bersalah terus menghantuinya hingga ia menderita sakit parah dan akhirnya meninggal.
Novel ini memang bercerita mengenai kisah percintaan tapi bagi saya tema kisah percintaan yang ditulis oleh Tere Liye hanya pembungkusnya saja, sedangkan isinya mengenai prinsip nilai-nilai kehidupan. Tokoh Pak Tua diceritakan sebagai orang yang bijak yang banyak menganjarkan Borno dan Andi tentang kehidupan. Dari Pak Tua lah Borno banyak belajar bagaimana menjadi bujang yang berhati lurus. Tak selalu nasehat pak tua disampaikan secara serius, kadang juga disampaikan dalam gelak tawa.
“Ini resep rahasia milik Pak Tua. Kalian bisa tiru kapan saja, manjur nan mujarab. Jika kalian berurusan dengan polisi lalu lintas atau satpam galak tanpa senyum, sapalah dia dengan menyebut namanya, bersahabat, maka urusan jadi gampang seketika. “Karena mereka terkadang sudah kesal dari sananya, Borno. Seharian atau semalaman bosan berjaga, menghadapi orang-orang. Kau lurus-lurus saja bisa mengundang masalah, apalagi kalau kau memang membawa masalah. Nah, dengan menyapa nama, itu membuat mereka merasa dihargai setelah kesal sepanjang hari. Percayalah. Itu selalu berhasil.” (halaman 25).
Membaca novel ini kita juga diajak menikmati kota Pontianak dan sepit sebagai alat transportasi masyarakat untuk menyeberang sungai. Nama kota Pontianak, dalam bahasa Melayu artinya hantu. Sedangkan sepit sudah lama menjadi transportasi utama masyarakat.
“Bagi sebagian penduduk Pontianak bepergian keluar negeri itu jamak. Kota ini hanya enam jam dari perbatasan Entikong, Malaisya. Kalian bisa dengan mudah menumpang kendaraan umum Malaisya menuju Kuching, ibukota negara bagian Serawak. Kalau mau lebih praktis lagi, gunakan bus eksekutif hasil kerja sama perusahaan tiga negara : Indonesia, Malaisya, dan Brunei Darussalam. Dengan satu tiket, satu kali bayar, tiga negara bisa dilintasi sekaligus : Pontianak-Kuching-Miri-Bandar Seri Bengawan”. (Halaman 74)
“Ke mana-mana penduduk kota Pontianak naik sepit. Mau berangkat sekolah, berangkat kerja, pergi kondangan, berangjang sana, berkunjung ke tetangga, termasuk hendak berbuat jahat. Kota ini kota sungai maka tidak perlulah planolog lulusan terbaik untuk menyimpulkan bahwa di kota ini transportasi air sangat penting. Zaman dulu, memiliki perahu kinclong yang terbuat dari kayu paling kuat dan dibuat tukang paling mahir rasa-rasanya sama levelnya dengan memiliki mobil mewah hari ini. Status sosial nomor satu. Apalagi punya belasan perahu, sudah seperti punya garasi mobil. Bedanya, tempat parkir perahunya ada di dermaga atau tertambat di bawah rumah panggung”. (Halaman 33)
Tapi perkembangan zaman membuat sepit berganti dengan feri yang penduduk namakan dengan pelampung. Kehadiran pelampung ini menyebabkan kemarahan bagi penarik sepit. Itulah alasan Bang Togar marah saat tahu Borno kerja di dermaga. 
“Puluhan tahun silam, mereka bilang hanya satu dua pelampung, ternyata banyak. Mereka bilang hanya jam-jam tertentu saja beroperasi, ternyata setiap saat. Mereka bilang akan merekrut pengemudi sepit penduduk gang ini, ternyata tidak. Satu pelampung itu, sekali jalan, menghabisi dua puluh sepit, Borno. Kau hitung sendiri berapa sepit yang kehilangan penumpang? Ratusan. Kau pura-pura lupa, hah? Kakek kau mati ditabrak pelampung haram itu. Jasmerah, Borno, Jasmerah!” (Halaman 35)
Borno selepas SMA setelah beberapa kali berganti pekerjaan dan kerja serabutan yang pada akhirnya memutuskan untuk menjadi pengemudi sepit, walaupun itu bukan cita-cita nya ia tetap ingin melanjutkan pendidikan.
“Pak Tua menghiburku “Sepanjang kau mau bekerja, kau tidak bisa disebut pengangguran. Ada banyak anak muda berpendidikan di negeri ini yang lebih senang menganggur dibandingkan bekerja seadanya. Gengsi, dipikirnya tidak pantas dengan ijazah yang dia punya. Itulah kenapa angka pengangguran kita tinggi sekali, padahal tanah dan air terbentang luas.” (Halaman 49)
Sebelum menjadi pengemudi sepit Borno kerja di dermaga sebagai pemungut karcis penumpang kapal feri. Setelah beberapa hari bekerja Borno menjumpai kecurangan yang dilakukan teman-temannya mereka tidak memberi karcis pagi penumpang tapi langsung menerima bayaran. Hal tersebut sempat membuat resah Borno.  Saat Borno bercerita kepada Pak Tua sambil tertawa Pak Tua mengatakan kepada Borno “Beginilah, Borno. Mari kita berandai-andai.” Pak Tua tersenyum bijak, “Gaji kau katakanlah tujuh ratus ribu, ditambah dengan uang haram itu, bisa jadi dua juta. Kau butuh berapa tahun untuk mengumpulkan uang sepuluh miliar? Empat ratus tahun, empat abad kau bekerja nonstop baru bisa mengumpulkan uang sebanyak itu. Kau tahu, butuh berapa lama pemilik kebun sawit kenalanku itu? Hanya enam bulan. Juga para pesohor, pengusaha, bahkan pemain bola ternama. Mereka hanya butuh hitungan tahun, bahkan kurang. Kau tahu ironinya? Mereka melakukannya dengan jujur, kau melakukannya dengan cara curang jahat.” (Halaman 43).
Saat dilema apakah menjadi pengemudi sepit seperti bapaknya almarhum, Borno memutuskan  “aku berjanji akan jadi orang baik, setidaknya aku tidak akan mencuri, tidak akan berbohong, dan senantiasa bekerja keras meski akhirnya hanya jadi pengemudi sepit”(Halaman 54).
Novel ini menjadi gelak tawa dengan adanya tokoh Bang Togar sang ketua PPSKT (Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta). Bang Togar diceritakan sebagai seorang abang yang galak, egois tapi berhati lembut. Bagaimana Bang Togor yang suka menyuruh-nyuruh dan mengerjai Borno adalah orang yang mengajukan usul untuk membelikan Borno sepit yang baru dan dia juga yang meminta sumbangan kepada penduduk. Bang Togar juga yang mengolok-olok Borno ketika Borno kencan berdua dengan Mei
Mei hadir dalam kehidupan Borno saat ia meninggalkan sepucuk surat bersampul merah dalam sepit, tanpa nama. Dari keinginan hendak mengembalikan surat tersebut maka perkenalan mereka berlanjut tapi tetap dengan banyak rahasia yang disimpan oleh Mei. Sampai Mei memutuskan pulang ke Surabaya agar jauh dari Borno. Sayang perasaan suka itu tak bisa ditepisnya begitu juga dengan Borno.
Kehidupan Borno berlangsung dengan baik dan banyak kemajuan. Karena ketekunan dan keinginannya untuk selalu belajar. Borno menjadi orang yang ahli dalam montir itu berkat banyak membaca buku-buku baik yang dipinjam atau dibelinya. Akhirnya ia mempunyai bengkel yang maju dengan bekerjasama dengan Bapaknya Andi. Kemajuan pekerjaan tidak lantas membuat bapaknya Mei menyetujui hubungan Borno dan Mei. Borno pun tidak tahu apa alasan Mei yang menghindar dan apa sebab ketidaksukaan bapaknya.
“Mei terus menolak menjelaskan. Dia terus menolak. Bahkan aku cemas, dia malah memutuskan pergi dari sini. Itu berarti sudah saatnya kau mulai kesempatan baru. Percayalah, jika Mei memang cinta sejati kau, mau menyakitkan apa pun, mau seberapa sulit liku yang harus kalian lalui, dia tetap akan bersama kau kelak, suatu saat nanti. Langit selalu punya skenario terbaik. Saat itu belum terjadi, bersabarlah. Isi hari-hari dengan kesempatan baru. Lanjutkan hidup dengan segenap perasaan riang” (Halaman 430)
Jawaban dari semua itu ternyata ada di sepucuk surat bersampul angpau merah yang sengaja ditinggalkan Mei tapi tak pernah dibaca oleh Borno. Sampai akhirnya Bibi Mei menyuruh Borno untuk membaca surat tersebut karena jawaban semua misteri ada disana.
“Abang. Sungguh maafkan keluarga kami. Maafkan Mama yang telah menyakiti keluarga Abang. Ternyata Mama adalah dokter yang melakukan operasi jantung dini hari itu. Mama-lah yang memutuskan apakah bapak Abang Borno telah meninggal atau belum secara medis. Mama yang membelah dada bapak Abang Borno. Dari catatan harian itu, aku tahu, operasi itu seharusnya tidak pernah dilakukan. Mama dibutakan dengan “prestasi”, “ tinta emas” dan sejenis itulah jika dia berhasil. Mama sebenarnya tidak pernah yakin, bahkan dari catatan itu, mama mengaku dia bisa saja menyelamatkan bapak Abang Borno. Tapi dia memutuskan sebaliknya, operasi itu harus dilakukan. Itulah yang membuat Mama tiba-tiba berubah. Saat melihat Abang Borno menangis sendirian di lorong rumah sakit, saat melihat ibu Abang Borno berusaha memeluk Abang, kesadaran itu datang. Sungguh, apa hak Mama mengambil kehidupan seseorang lantas memberikannya ke orang lain? Apa hak Mama membuat keluarga Abang kehilangan seseorang yang amat kalian cintai? Itulah penjelasan yang terlambat datang, ditulis berkali-kali dibuku harian Mama” (Halaman 501)
Borno tetap memutuskan mencintai Mei bahkan menyusul Mei ke Surabaya. Borno paham seperti ucapan Pak Tua “Untuk orang-orang seperti kau, yang jujur atas kehidupan, bekerja keras dan sederhana, maka definisi cinta sejati akan mengambil bentuk yang amat berbeda, amat menakjubkan” (Halaman 507)
“Aku  berjanji akan selalu mencintai kau, Mei. Bahkan walau aku telah membaca surat dalam angpau merah itu ribuan kali, tahu masa lalu itu menyakitkan, itu tidak akan mengubah apapun. Bahkan walau satpam galak rumah ini mengusirku, menghinaku, itu juga tidak akan mengubah perasaanku. Aku akan selalu mencintai kau, Mei. Astaga, Mei, jika kau tidak percaya janjiku, bujang dengan hati paling lurus sepanjang tepian kapuas, maka siapa lagi yang bisa kaupercaya?”. (Halaman 507)
Apa yang membuat Borno sampai kepada pemahaman tersebut? Karena Borno tau kebaikan yang diberikan akan berbuah kebaikan pula. Dalam kehidupannya Borno dipertemukan dengan Sarah anak penerima donor jantung dari bapak Borno. Keluarga Sarah sangat berterima kasih dan bahagia ketika akhirnya bisa bertemu dengan keluarga Borno. Karena berkat donor jantung tersebut Bapak Sarah bertahan selama sembilan tahun, dan bisa menyaksikan anak-anaknya menikah, berkeluarga dan melihat cucu. Begitu juga sebaliknya ketidakjujuran hanya akan mengakibatkan keresahan dan ketidakbahagiaan.
Membaca buku ini sampai akhir halaman membuat saya terharu. Nasehat yang sederhana tapi dalam dan sangat prinsip. Sifat Jujur, bekerja keras dan sederhana mungkin sudah sering kita dengar baik sebagai slogan, kampanye atau nasehat. Tapi jika ini tidak hanya sekedar diucapkan di mulut tapi dilaksanakan dalam kehidupan nyata mungkin bisa mengubah kehidupan bangsa yang kusut dan semakin tidak jelas ini berubah.  Seperti cerita Pak Tua tentang pasangan Fulan dan Fulani pasangan buta yang berkali-kali dalam kehidupannya ditimpa masalah tapi mereka tetap saling mendukung, cinta mereka bukan cinta gombal tapi diwujudkan dalam perbuatan.
Tapi setelah membaca habis buku ini saya juga bertanya-tanya apakah cerita cinta saya seperti nasehat Pak Tua kepada Andi atau Borno yahh :))
Kekurangan dari buku ini yang menjadi pertanyaan bagi saya, penulis tidak menceritakan bagaimana bapak Borno bisa mendonorkan jantungnya dan bagaimana prosesnya, karena info tentang cara dan proses donor organ tubuh ini banyak yang belum diketahui masyarakat.
Secara keseluruhan buku ini layak dibaca karena tidak hanya sekedar cerita fiksi tapi ada tujuan dan pesan yang disampaikan. Seperti buku-buku Tere Liye lain yang banyak menginspirasi dan banyak bertema anak-anak membuat saya yakin buku yang bagus bisa mencerahkan dan menjadi sumber ilmu dan membentuk karakter yang baik. Semoga cerita yang ditulis dengan hati maka akan sampai ke hati pula oleh pembaca.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar