Rabu, 22 Mei 2019

"Defisit Kreatifitas" #repost tulisan Tere Liye

Repost tulisan ini karena saya sukaaaa 😍 soalnya bikin semangat karena menulis jadi salah satu bagian terpenting dari sebuah kreatifitas. Ingat ya, literasi itu penting, menulis dan membaca ga akan mati oleh zaman.

Tapi bagi saya, suka menulis itu ga harus jadi penulis, tapi klo soal hoby baca itu harus, selain nambah ilmu biar kita bisa lihat sesuatu dalam hidup ini dengan banyak cara pandang dan ga kemakan hoax yang bertaburan setiap hari di kehidupan kita.

Apalagi ini zaman yang gadget sama pentingnya dengan makan, orang terbiasa menulis status, komen, dan nge vlog. Klo kita terbiasa membaca dan menulis dengan baik berdasarkan ilmu tentu hasilnya beda dan berkualitas ga seperti isi berita online zaman sekarang yang heboh di judul tapi zonk di isi. Mau koment juga hati hati dan bahasanya bukan seperti netizen yang maha benar. Atau lebih pedas dari cabe. Intinya itu sih. Ilmu. Mari jadi generasi milenial yang cerdas atau bagi yang generasi old, jangan sampai kelakuan sama dengan yang milenial setidaknya sedikit lebih cerdaslah biar bisa jadi contoh 😉.

Salam literasi kuy 😊

*Defisit Kreativitas

Di tengah hiruk-pikuk pilpres, klaim sana-sini, elit bermunculan di televisi, media, saling komen, berisik sekali, semoga masih ada yang mau melihat data terbaru tentang defisit neraca perdagangan Indonesia bulan April 2019.

Apa itu neraca dagang? Simpel. Berapa banyak yang kita jual (ekspor) dibandingkan yang kita beli (impor). Dalam hal ini perdagangan ke luar negeri. Menurut laporan BPS, April 2019, Indonesia ekspor 12,6 milyar dollar, sementara impornya 15,1 milyar dollar. Maka setelah dihitung selisihnya, itu berarti kita defisit sebesar 2,5 milyar dollar. Lebih banyak beli dibanding jual.

Angka ini tentu tidak sesederhana yang dilihat, harus ditelaah secara lebih detil, dibandingkan dengan periode sebelumnya, dilihat per jenis ekspor-impornya; tapi terlepas dari itu semua, angka 2,5 milyar dollar ini tidak main-main, itu setara 35 trilyun rupiah, dan merupakan rekot defisit paling parah sejak tahun 1945. Alias sejak Indonesia merdeka.

Kenapa jadi defisit? Kata salah-satu pejabat, hal ini disebabkan karena Ramadhan dan Lebaran, kita banyak impor. Kata pejabat lainnya, karena efek pemilu, jadi banyak keputusan bisnis tertunda. Kata pejabat lainnya, karena ekonomi dunia sedang ketat, ekonomi global melambat, harga komoditas menurun. Well, tentu banyak memang versi argumennya, bahkan ada yang bisa bilang: karena Son Go Ku dan Bezita masih berantem, atau juga karena geng Wowo dan geng Wiwi masih rebutan mainan. Guling2 di pasir. Bisa semua. Tapi pegang kata2 saya, tidak akan ada yang bilang: “karena salah saya yang tidak becus.” Tidak ada yang secara jantan mau bertanggung-jawab. Misalnya, saya Tere Liye sebagai penulis, saya seharusnya bisa ekspor buku ke luar negeri sebesar 2,6 milyar dollar, tentu jadi surplus tuh neraca. Bukan cuma translate buku ke negara2 lain, eh tidak laku. Nasib. Ini jelas karena Tere Liye tidak becus jadi penulis.

Eh baiklah, sebelum malah kemana2, mari kita langsung saja ke poin catatan ini. Bahwa poin dari catatan ini ada dua. Satu, saya sedang mengedukasi banyak orang tentang situasi terkini. Tidak semua orang ngeh dan tahu soal defisit neraca dagang. Karena cepat atau lambat, jika defisit ini terus membesar, si defisit ini akan menjalar kemana2. Termasuk bahkan urusan harga tempe dan tahu. Kedua, saya sedang menghimbau semua orang agar terlibat dalam memerangi defisit neraca dagang. Mbok ya mari kita pindahkan energi bertengkar menjadi energi poisitf. Mari semua memikirkan solusi, termasuk saya, sebagai penulis, juga mikir solusinya.

Sebab saya tengok itu data detil defisit, maka lihatlah, ekspor terbesar kita itu masih saja itu-itu melulu. Bahan bakar mineral, kelapa sawit, besi dan baja, karet, itu-itu saja. Sementara saya tengok itu film Avenger Endgame. Sialan (maaf), itu film ternyata sudah laku 2,5 milyar dollar (dari 20 hari rilisnya). Apes betul kita ini bro, sis. Kita sibuk ngedukin tanah, sibuk merusak hutan, orang lain cuma bikin film, cukup satu doang filmnya, dia langsung ngembat uang sebanyak itu. Catat: cukup satu film doang. Apalagi kalau dihitung banyak film.

Maka semoga kalian, anak-anak muda, memahami pesan tersembunyi dari catatan lebay dan receh ini--selain tentang pesan ‘tidak becus’-nya tadi. Masa depan itu bukan di ngerusak hutan, ngedukin tanah, masa depan itu di industri kreatif. Termasuk pak pejabat dan bu pejabat, semoga kalian juga mau melihatnya. Marilah kita berikan insentif yang sungguh2 kepada industri kreatif. Tidak hanya tol darat, tol laut dan tol langit yang dibutuhkan, industri kreatif juga butuh tol. Mau tahu mahkota industri kreatif? Adalah: menulis. Film, butuh skenario, butuh tulisan. Lagu, musik, butuh not, lirik, juga tulisan. Aplikasi, software, butuh program, yang juga tulisan. Puisi, sajak, buku, apalagi yang ini, semua tulisan. Kreatifitas membutuhkan keterampilan menulis. Keterampilan menulis membutuhkan kemampuan membaca. Itu semua adalah tentang literasi.

Lihatlah dunia berubah 10-20 tahun terakhir. Ini kesempatan yang brilian sekali. Siapapun yang mau terlibat dalam industri kreatif, masa depan cerah menanti kalian. Jika hari ini kitalah yang nonton Thanos, besok lusa orang lain yang nonton film buatan kita, lantas mereka sibuk dengan spoiler, teori, heboh menonton karya kita. Kalau hari ini kitalah yg sibuk ngutip2 serial televisi dalam pidato kita seolah itu keren sekali; maka semoga besok giliran orang lain lah yang menyebut2 sinetron kita dalam pidato kenegaraannya. Mereka mengutip dari Sinetron Tersanjung Season 100.

Begitulah. Menurut hemat tulisan receh dan unfaedah ini, sungguh tidak jaman lagi memakai rumus masa lalu dalam menghadapi perekonomian masa depan. Karena kuncinya sudah beda. Kurikulumnya sudah beda. UN-nya juga beda. Kita membutuhkan orang2 dengan visi cemerlang. Semoga, kita tidak hanya jadi penonton saja (sambil terus sibuk bertengkar).

@Tere Liye

Tidak ada komentar:

Posting Komentar