Saya sering punya perasaan di awal mau ngaji yaitu malas tapi sesudah ngaji hati senang dan lega, kenapa ya?
Senangnya karena dapat ilmu, hati lega, jadi ingat akhirat, tau apa yang harus di persiapkan di dunia ini.
Trus malasnya kenapa? Mager klo kata anak milenial sekarang males aja bawaanya, enakan leyeh leyeh di rumah atau pergi kemana.
Itu dia yang sering terjadi pada diri saya, walaupun udah berahun tahun ikut kajian. Tau ga tuh siapa yang perlu di curigai atas itu semua? Ya setanlah, setan itu emang udah kerjaan dia mengoda manusia agar tidak melakukan kebaikan soalnya klo manusia banyak yang baik ntar temannya di neraka bakal berkurang.
Nah tuh saya udah tau jawabannya, kenapa kadang masih kalah kuat dengan setan. Ya itu klo iman saya kuat saya akan pergi ke kajian, klo baterai saya lagi lemah, setan deh pemenangnya. Banyakan mana setan yang menang atau nurani? Alhamdulillah lebih sering nurani saya yang menang.
Klo boleh milih sih pengennya jangan ada setan diantara saya. Tapi khan ga bisa, karena Allah membolehkan setan untuk menguji kita biar Allah tau sejauh mana keimanan seorang hamba.
Jadi jadi apa maksudnya cerita ini, ya pengen aja memetakan masalah trus solusinya apa ?😀
Sebenarnya ada yang mau saya curhatin lagi. Gini..personel ngajinya buibu dulu khan ada sekitar 15, nah diantara perjalanan enam tahun ini anggota jadi 5. Sampai disini saya sedih tapi menganggap biasa karena hal ini sudah sering terjadi, begitu juga pas kejadian pengajian bapak bapak udah disiapkan segala sesuatu untuk banyak orang eh ternyata yang hadir cuman 4. Disini ilmu ikhlas harus maju, ingat tidak akan ada satu kebaikan pun yang akan sia sia, walaupun hanya sekecil zarah.
Trus masalahmya dimana? Disini
Di hati saya yang suka sedih 😊, kenapa orangnya sedikit? Apanya yang salah? Apanya yang kurang. Gitu we jadinya saya suka bertanya tanya. Trus saya.menghibur diri yang penting kualitas bukan kuantitas.
Sempat terpikir buibu banyak off karena hapalan ya? Tapi apa salah hafalan? Toh klo ga bisa ga apa-apa ga ada target dan hanya semampunya lagian wajar ngaji bertahun tahun pasti harus ada progress.
Jadi....kesimpulannya apa?
Ya sudahlah tetap semangat bikin kajian, jangan malas malas, niatnya mencari ridho Allah, tugas kita hanya mengajak dan menyampaikan, hasilnya serahkan pada Allah. Berbaik sangka yang ga bisa ikut karena ada uzur lain.
Eh wait sempat kepikiran apa bikin kajian dengan macam-macam fariasi biar menarik. Ahh ga ahh ntar malah jadi.polemik lagi kayak ustad yang lagi hits itu. Udah ahh materi nya udah bagus yaitu tauhid dan tahsin, ga usah dimacam macamin lagi.
Yahh ini dia tulisan dialog hati dan pikiran, nanya sendiri jawab sendiri,😊
Biar semangat saya mau copas tulisan tentang dakwah :
Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan
meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu.
Berjalan, duduk, dan tidurmu.
Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang
umat yg kau cintai.
Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu.
Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yg menempel di
tubuh rentamu. Tubuh yg luluh lantak diseret-seret. .. Tubuh yang
hancur lebur dipaksa berlari.
Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang
akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat
yg diturunkan Allah.
Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya
sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi
orang miskin yg bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak.
Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang
segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam 2 tahun ia sakit parah
kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai
jiwa yang tenang.
Dan di etalase akhirat kelak, mungkin tubuh Umar bin Khathab juga
terlihat tercabik-cabik. Kepalanya sampai botak. Umar yang perkasa
pun akhirnya membawa tongkat ke mana-mana. Kurang heroik? Akhirnya
diperjelas dengan salah satu luka paling legendaris sepanjang
sejarah; luka ditikamnya seorang Khalifah yang sholih, yang sedang
bermesra-mesraan dengan Tuhannya saat sholat.
Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah
bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah
bukannya sepi dari godaan kefuturan.
Tidak… Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama
mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan
segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih “tragis”.
Justru karena rasa sakit itu selalu mereka rasakan, selalu
menemani… justru karena rasa sakit itu selalu mengintai ke mana
pun mereka pergi… akhirnya menjadi adaptasi. Kalau iman dan godaan
rasa lelah selalu bertempur, pada akhirnya salah satunya harus
mengalah. Dan rasa lelah itu sendiri yang akhirnya lelah untuk
mencekik iman. Lalu terus berkobar dalam dada.
Begitu pula rasa sakit. Hingga luka tak kau rasa lagi sebagai luka.
Hingga “hasrat untuk mengeluh” tidak lagi terlalu menggoda
dibandingkan jihad yang begitu cantik.
Begitupun Umar. Saat Rasulullah wafat, ia histeris. Saat Abu Bakar
wafat, ia tidak lagi mengamuk. Bukannya tidak cinta pada abu Bakar.
Tapi saking seringnya “ditinggalkan” , hal itu sudah menjadi
kewajaran. Dan menjadi semacam tonik bagi iman..
Karena itu kamu tahu. Pejuang yg heboh ria memamer-mamerkan amalnya
adalah anak kemarin sore. Yg takjub pada rasa sakit dan
pengorbanannya juga begitu. Karena mereka jarang disakiti di jalan
Allah. Karena tidak setiap saat mereka memproduksi karya-karya
besar. Maka sekalinya hal itu mereka kerjakan, sekalinya hal itu
mereka rasakan, mereka merasa menjadi orang besar. Dan mereka justru
jadi lelucon dan target doa para mujahid sejati, “ya Allah, berilah
dia petunjuk… sungguh Engkau Maha Pengasih lagi maha Penyayang… “
Maka satu lagi seorang pejuang tubuhnya luluh lantak. Jasadnya
dikoyak beban dakwah. Tapi iman di hatinya memancarkan cinta…
Mengajak kita untuk terus berlari…
“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.
Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.
Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.
Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”
(alm. Ust Rahmat Abdullah)
Kalau iman dan syetan terus bertempur. Pada akhirnya salah satunya
harus mengalah.
In memoriam Ust. Rahmat Abdullah