Kamis, 25 Juli 2013

"Mengapa Tidak Boleh Ikut Mengatur" (Misteri Berserah Kepada Allah, Ibnu Athaillah)


Setelah Tajul 'Arus saya jadi jatuh cinta untuk membaca lagi karya Ibnu 'Athaillah, banyak pencerahan dan perenungan yang menjadi koreksi diri setiap membaca kalimat demi kalimat karya Ibnu 'Athaillah tersebut.
Buku "Misteri Berserah Kepada Allah" merupakan lanjutan dari pembahasan "Istirahatkan Dirimu Dari Ikut Mengatur" yang di bahas dalam Tajul 'Arus yang sudah saya share pada tulisan sebelumnya.

Buku ini khusus membahas tentang kepasrahan dan penjelasan tentang apa dan bagaimana tentang tidak ikut mengatur tersebut. Terdiri dari 13 bab yang temanya saling terkait satu sama lain. Kali ini saya mau share dari salah satu bab, mengapa tidak boleh ikut mengatur.

Judul dari tema ini saya tulis dalam beberapa tulisan. Hhmm kenapa saya jadi tertarik dengan tema ini? Bagi saya konsep "pasrah" ini berkaitan dengan ketauhidan yang kita miliki dan ini sering kita alami dalam kehidupan sehari-hari. Ketika hati kita sudah pasrah dan yakin kepada Allah atas segala urusan maka hati menjadi tenang dalam menjalankan setiap warna kehidupan dan begitu ada batu yang membuat kita tersandung, tidak akan membuat kita putus asa dan lari dari Allah karena hati kita sudah total kepada Sang Maha Pencipta, yang ada Insya Allah kita semakin dekat kepada Allah. 
Dalam pelaksanaanya tentu tidak mudah melakukannya kita semua memerlukan proses apalagi saya yang ilmu masih sedikit dan keimanan yang masih sering naik turun :) *pengakuan*. Untuk itu perlu niat yang lurus dan selalu berdoa agar Allah meneguhkan hati dan langkah kita untuk selalu berjalan di jalan yang di ridhai Allah.

Ada beberapa sebab mengapa kita tidak boleh ikut mengatur bersama Allah :
1. Pengetahuanmu tentang pengaturan Allah yang berlaku atas dirimu. Maksudnya, kau tahu bahwa Allah telah berbuat untukmu sebelum kau berbuat untuk dirimu. Sebelum kau ada dan sebelum kau ikut mengatur, Dia telah mengatur untukmu. dan kini, setelah kau ada, Dia jugalah yang mengatur.
2. Pengaturan terhadap dirimu sendiri menunjukkan ketidak tahuanmu akan pengaturan padaNya yang baik kepadamu. Seorang mukmin mengetahui bahwa jika ia tidak ikut mengatur bersama Allah, Dia akan mengaturnya dengan baik sebagaimana firman-Nya, "yang bertawakal kepada Allah, Dia akan mencukupinya"
3. Takdir dan ketentuan yang berlaku kerap kali tidak sesuai dengan pengaturanmu. Hanya sebagian kecil yang bertepatan dengan pengaturanmu. Orang berakal tidak akan membangun di atas landasan yang labil. Sebab, ketika bangunan dan rancanganmu telah selesai, ketentuan Tuhan akan menghancurkannya.
4. Allah Swt adalah mengatur seluruh kerajaan-Nya, baik yang di atas maupun yang di bawah, yang gaib maupun yang tampak. Seandainya manusia mengenal Tuhannya, tentu ia malu untuk ikut mengatur bersama-Nya. Kau berhasrat untuk ikut mengatur karena kau terhijab dari Allah Swt. Sebab, ketika Dia tersingkap pada hati orang yang yakin, ia menyaksikan dirinya diatur bukan mengatur, ditentukan tidak ikut menentukan, serta di gerakkan bukan bergerak sendiri.
5. Kau mengetahui bahwa dirimu adalah milik Allah. Dengan demikian, kau tidak berhak mengatur apa yang bukan milikmu. Engkau tidak bisa ikut campur mengatur apa yang tidak kau miliki. (Sebenarnya kau tidak punya apa-apa. Apa yang kau miliki adalah amanah dari Allah. Kau tidak punya kepemilikan hakiki. Hanya saja, secara hukum lahir kau dianggap sebagai pemilik meskipun tidak punya alasan yang layak). Jadi, sangat tepat jika kau tidak ikut mengatur atas apa sesungguhnya milik Allah. Apalagi, Allah Swt, telah menegaskan, " Allah telah membeli dari orang beriman, jiwa dan harta mereka untuk di ganti dengan surga (Al-Zumar-36).
6. Kau mengetahui bahwa kau sedang di jamu oleh Allah Swt. Pasalnya, dunia adalah rumah Allah. Kau hanya singgah di sana. Seorang tamu semestinya percaya kepada sang pemilik rumah.
7. Sesungguhnya Allah senantiasa mengurus segala sesuatu. Bukankah Dia telah berfirman, "Allah, tiada Tuhan selain-Nya Yang Mahahidup dan Mahategak (terus-menerus mengurus seluruh makhluk-Nya)
8. Tujuan dan akhir kehidupan seorang hamba adalah pengabdian, sebagaimana firman Allah Swt, "Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu"
9. Engkau adalah hamba yang selalu Dia pelihara. Seorang hamba tidak boleh ragu kepada majikannya. Apalagi sang majikan selalu memberi dan tidak pernah mengabaikan.
10. Sesungguhnya kau tidak mengetahui akhir dan akibat dari setiap urusan. Mungkin kau bisa mengatur dan merancang sebuah urusan yang baik menurutmu. Tetapi ternyata urusan itu berakibat buruk bagimu. Mungkin saja ada keuntungan di balik kesulitan dan sebaliknya, banyak kesulitan di balik keuntungan. Bisa jadi bahaya datang dari kemudahan dan kemudahan datang dari bahaya.

Konsep pasrah yang dimaksud Ibnu 'Athaillah bukan membuat kita pasif dalam kehidupan. Bukan berarti kita tidak berusaha, berhenti bekerja, berhenti berdo'a atau berhenti mencari rezeki. Orang yang berserah dan tidak berserah dari "cara hidup" nya sama saja yang membedakannya adalah cara mereka memandang, merasa dan menyikapi hidup. Ajaran mengenai berserah diri kepada Allah adalah suatu ilmu mengenai kecerdasan emosional spritual. Sikap berserah diri ini membuat kita mempunyai sikap :
a. Tidak risau akan sarana-sarana penghidupan. Sikap ini penting agar hidup tidak dipenuhi perasaan cemas, khawatir, gundah dan gelisah yang menempatkan hidup kita dalam tekanan. Tak hanya itu, ketenangan itu sendiri juga penting demi kesuksesan kita meraih sarana-sarana penghidupan.
b. Ketidakbergantungan pada amal atau usaha. Kebergantungan pada perbuatan atau daya upaya sering kali membuat keputusasaan dan frustasi pada saat kendala dan kegagalan ditemui. Dengan bergantung kepada Allah, kita bisa terhindar dari keputusasaan yang mencelakakan. Bersandar kepada-Nya membuat kita selalu bangkit dan selamat dari perasaan terpuruk.
c. Keridaan pada kenyataan, kekecewaan, kekesalan dan ketidakpuasan pada kejadian-kejadian yang menimpa hanya akan menguras energi kita. Dengan rida pada kenyataan, segetir apapun itu, kita akan selalu siap menghadapinya dan merenspon secara wajar dan berguna.
d. Keberharapan atau optimisme hidup. Dengan bersandar kepada Allah, dan percaya bahwa Dia selalu memberikan yang terbaik, kita melipatgandakan rasa optimis kita terlepas dari betapa buruk hal-hal yang menimpa kita di mata orang.

Jadi jelas bahwa pasrah bukan berarti pasif. Pasrah itu adalah cara pikir. Melakukan ikhtiar terbaik adalah kewajiban seorang hamba, Karena dalam berusaha terkandung banyak manfaat. Ibnu 'Athaillah juga menjelaskan banyak hikmah dari berusaha. Apa saja hikmahnya? di share pada tulisan berikutnya ya :))

1 komentar: